Minggu, 15 Mei 2022

Tentang Kematian

As I stood tall near your grave, nothing feels real. I cannot say I am an insensitive asshole, out-of-touch with my feelings. It just feels.. numb.

Your daughter, my sister, was wailing in my back. We watched your body buried to the earth. She lost her conciousness, your youngest brother and her friends were comforting her. Mom and I still stood there. You went down. You're actually leaving us.

I couldn't remember for the life of me the rest of my thoughts at that time. But I did remember one: what the fuck is wrong with me? Yes, I cried. A little tears here and there. Yet where is the scream? Like Dede did? Was it gone? Was I that cold?

I took a step back. So was Mom. The soil was fresh. We chanted some prayer, then we left. Mom and I stole a glance on your grave once before we went home. Forever we will be alone.

Rode an angkot to home. People were dispersed. I was actually working a lot on the administration stuff for your funeral. One step to the house, I realized something's change. The house was, and is still, a home to me. There was this coldness, though. Because your warm presence was not already there.

Oof, to say that I'm devastated is an absolute understatement. I sat down in front of the window. Then I said it's all my fault. I wasn't attentive enough. I thought you were annoying. We fought just because. And I gave up. I was supposed to be the one who's educated, who reads on shit. And yet, I didn't even realize your symptoms that first morning. I didn't force you to consume your meds. I just... went to work. When you're hospitalized, I'm still going to work. How stupid am I? You're the biggest support in my life. And my ambition still the number one priority? Seriously, what is the fucking point of the glory, of the achievement, and money, and good quality of life, if you're not here? I can say with an absolute confidence, not nothing, but much, much less. 

I'll admit this though. My arrogance got in the way. I was so sure you're going to be cured, you're going home. Like always.

But nothing is always.

Anyways, we changed the house's layout. To see your chair empty sucks butt. To this day still. I don't want to feel my feelings. Sometimes I talk to my friends about it. But... I don't know. It doesn't really help. I just can't say to them about my remorse fully.

Before your death, there is nothing I regret in life. Yes, I do make a lot of mistakes. A lot, a lot. I'm no saint. But I loved my life at the time. All of that mistakes bring me there. Like you said, regret is useless. What's important is the next step, what will you do tomorrow. So... you're being gone is the one thing I feel remorse for. Because, you know, you not being here is devastating. Sometimes I think about it, but never realize how bad it was when it's real.

You were the foundation of our lives. Mom, me, and Dede. We have our lives, sure, but you're the one place for me to go home. Safe, and protecting at the same time. Now, living is like driving a motorcycle without helmet and jackets surrounded by the motherfucker trucks. Dangerous, and not enjoyable at all. Except you never arrive at your destination.

I rarely think about you. When I do, I distract myself. Not because I don't love you. I just don't like me in those sadness mode. I can't work, I can't enjoy anything at all, I can't even spend time well with Mom and Dede. When I was on those phase, I hate myself so much. I don't want to live, but don't want to kill myself, you know? Just... be. But that's impossible. So I keep runing. 

Some people say to me I have to feel my feelings. But really, how? It's too much. Times goes by, I also realized I become this hollow-heart being. I don't know. Lots of things I don't know. I need to escape for sure. 

Death sucks butt.

Senin, 21 Maret 2022

Tentang Perasaan yang Gak Enak

Sewaktu masanya hidup, seringkali Bokap tiba-tiba nyeletuk, "Duh, perasaan Papa gak enak nih."

Perkataannya itu selalu kita anggap sebagai sebuah pertanda bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi. Istilahnya, sekuat itu instingnya, dia bisa mendeteksi kejadian gak enak bakal menimpa ke kita semua. At the time, I believe him. Now... not so much.

Bukannya gue nuduh bokap gue bohong atau apa. Tapi, perasaan gak enak itu, setelah gue perhatiin selalu ada penyebabnya. Suatu malam, mendadak jantung gue berdetak terlalu cepat, tanpa alasan. Setelah gue telusuri, hal itu diakibatkan gue kepikiran kerjaan yang sengaja gue tunda. Hari yang lain, gue ngerasa sedih terus, ternyata beberapa jam sebelumnya gue sempet dengerin lagu yang maknanya bikin hati berdenyut sakit. Atau, saat ini, di perut gue ada rasa jatuh. Tau gak sih? Seakan usus kita kesedot ke bawah ketika kita skip satu langkah di anak tangga? Ternyata karena rasa kecewa akibat gak bisa ketemu wajah yang di harapkan di masa mendatang.

Sudah menyadari ini, yang sekarang sulit banget untuk gue lakukan adalah menghadapi alasan perasaan gak enak tersebut muncul. Sampe saat ini, solusi yang gue pake adalah mengalihkan perhatian: nonton film, baca buku, kerja, nulis novel, nulis blog ini wkwkwk. Tapi, untuk menghadapi perasaan itu? Untuk memahami bahwa sebenernya gue patah hati, atau kangen bokap, atau merasa kehilangan kontrol atas hidup sendiri? Diri belom siap. That kind of mental breakdown... gue gak mau menghadapi. 

Tau punya masalah, dan tau solusinya, adalah langkah yang bagus. Untuk bener-bener ngelaksanain solusinya itu... lain cerita.

Jumat, 23 Juli 2021

Tentang Keengganan untuk Mengingat

Kalo bisa gue hindari, gue gak mikirin bokap gue atau ngeliat foto-fotonya. Soalnya kalo diliat bikin nangis, dan ketika gue nangis, gue gak bisa berhenti. Nangisnya itu kejer banget, air mata keluar gak berhenti, napas jadi susah, gambar di sekitaran lari. Kerja gak bisa, ngobrol sama keluarga gak bisa, mikirin apapun gak bisa. Uncontrollable soping mess.

Hari ini liat Facebook bokap gue. Gila, kenangan menusuk otak, sakit banget sih. Facebook ini bahaya juga. Orang yang udah meninggal, kenangannya masih ada disitu. Ah.

Nangis mulu deh.

Jumat, 08 Januari 2021

Tentang Penyesalan dalam Hidup

Dulu gue bisa dengan percaya diri bilang bahwa gue manusia yang punya banyak noda dalam masa lalunya, tapi gue gak punya penyesalan.

Gimana bisa gak punya penyesalan? Karena setiap kesahalan yang gue buat, setiap hal negatif yang terjadi karena gue, yang pada saat momennya terjadi membuat gue ketakutan setengah mati... semua hal itu yang membawa gue ke titik ini. Gak lulus mata kuliah sampe tiga kali, misal. Milih organisasi. Salah ambil kerjaan pertama. Yang membuat gue tertekan kala itu, membuat gue ada disini. Kalo gue dikasih balik ke masa lalu, kayaknya keputusan yang gue ambil tetep sama.

Sampe Bokap gue meninggal.

Garis akhir hidup manusia itu siapa sih yang tau? Buat gue penganut agama Abrahamik, gue tau bahwa pada tanggal Bokap gue meninggal ya memang harus dia meninggal. It's already written when you're born. Yang gue sesalkan adalah gue mendahulukan kepentingan diri sendiri dibanding menghabiskan waktu bersama Bokap, lebih ngejar kerjaan dan mimpi pribadi, sehingga waktu untuk berbincang, duduk bareng dia berkurang. Apalagi di masa hidupnya.

Sebenernya apa sih yang gue kejar? pikir gue sewaktu tubuh Bokap masuk ke dalam tanah. Kejar mimpi? Duit? Kesejahteraan? Apa? Gue tau gue ambisius, karena itu pun Bokap gue juga yang ngajarin. But at that day, the day I saw his body last, I was thinking hard. Ini, semua hal ini, yang gue mau, yang gue kejar, gak ada arti kalo dia gak ada disini. Dan apa sih fungsi ngerjain hal yang gak ada arti?

Buat gue bangkit dari keterpurukan pikiran itu... bahkan sampe detik ini gue nulis, belum sepenuhnya. Gue mulai mengevaluasi yang gue korbankan untuk prestasi materi yang entah sampe kapan bakal berasa cukup. Rasa bersalah dan rasa menyesal atas waktu yang gue lewatkan gak duduk dan ngobrol di ruang keluarga bareng karena kerjaan, atau ngerasa capek. Rasa bersalah dan rasa menyesal atas kelakukan gue sebagai anak brengsek yang bukannya ngerti Bokapnya sakit makanya jadi minta tolong dan manja, malah marah-marah. I hate myself so much. I cried my heart out, but it's no use. He's gone.

On the days I'm at the bottom of the sadness that is my life, I thought to myself, did he know? That I love him? That he's my inspiration, my muse, the big part of my life? Gue gak akan pernah tau jawabannya. Gue cuma bisa nangis.

Saat ini, untungnya gue bisa  dapet motivasi untuk ngejar goals gue lagi, dan berusaha gak mengorbankan waktu buat barengan sama nyokap dan adek gue, atau mengorbankan keinginan pribadi demi uang prestasi. I'm on a high right now, but I know I will crash soon, I just don't know when.

Kalo ditanya apa penyesalan gue dalam hidup? Gue rasa itu akan jadi satu-satunya: gak menghabiskan waktu lebih banyak sama Bokap gue. I miss him so much.

 

Rabu, 14 Oktober 2020

Tentang Sedih-Sedihan yang Gak Ada Abisnya

 Melihat isi postingnya blog ini, gimana jadinya sih seorang remaja keriting penjaga warnet yang sukanya baca komik sambil nonton sitkom, yang biasanya menuliskan hal-hal kocak dan gak jelas dalam hidupnya, jadi nulis kalo cuma ada emosi negatif dalam dirinya? Iya, maksudnya diri gue sendiri. Padahal kan ada banyak hal-hal baik juga dalam hidup, yang bisa gue tuangkan ke tulisan.

Hal baik, misalnya gue lulus tepat waktu. Hal baik, bisa dapet pekerjaan di bidang yang disukai. Dapet temen-temen baru, dapet perspektif baru. Bisa bawa kendaraan sendiri. Bisa nabung. Bisa makan apapun yang gue mau! 

Tapi kadang berbagi hal senang itu, bingung ngomongnya. Kalo dikatakan, rasanya sombong dan arogan. Atau sebenernya gue cuma orang yang tipe cari perhatian? Jadi biar orang-orang pada kasian, ceritain aja yang sedih-sedihan?

Jumat, 12 Juli 2019

Garis Batas yang Kamu Tak Bisa Lewati

Untuk sebagian manusia yang beruntung, pernah dalam suatu waktu kehidupan punya sahabat yang deket banget. Tipe-tipe kawan yang klise, tiap gerak garis wajahnya bisa kamu baca apa artinya, yang tiap waktu kosong dihabiskan bersama-sama.

Segitu deketnya, kamu tau tentang kisah hidupnya, dia tau tentang kisah hidupmu. Kadang berantem, kadang ngambek. Tapi selalu ada, selalu mendukung, selalu saling ulur tangan untuk membantu. Orang-orang yang membuat ringan hari yang sulit, dan mengeraskan rasa bahagia yang sedang dirasa.

Lalu ada rasa ingin memiliki. Posesif, seakan dia adalah milikmu. Sebagai sahabat, tentu kamu berpikir maksudmu baik. You want the best version of your best friend. You don't want them to get hurt.

Jadi, kamu biarkan ego bekerja. Ketika mereka sedang bahagia, tapi ada satu aspek lo gak suka, lo malah berusaha merusak kebahagiaan mereka. Ada sebuah pikiran sakit yang menelusup ke otak, bahwa sahabatmu gak bakal bisa bahagia tanpamu. Kamu punya hak untuk mengontrol hidupnya. Kemudian, tanpa kamu sadari, kata-kata yang menyakiti keluar. Kamu melukai hatinya.

Awalnya kalian berusaha buat berlagak semua baik-baik saja. Kalian melakukan segala hal untuk memperbaiki persahabatan yang kalian punya. Tapi, dari dasar hati, kamu tau ada yang rusak. Gak bisa dibetulin gitu aja. Bahkan mungkin gak akan pernah bisa kembali utuh, sampe kapan pun.

Dari sahabat kentel, jadi temen biasa, kemudian menjadi kenalan. Kamu bertanya-tanya dalam hati, kenapa jadi begini? Berlagak gak tau jawabannya, padahal sebenernya paham. Diri sendiri yang ngerusak. They left you because of your words. Kamu melewati garis batas yang tidak boleh dilewati, oleh siapapun, mencampuri keputusan hidupnya.

Satu pelajaran yang bisa kamu ambil. Terkadang, gak semua hal harus disampaikan ke orang tersayang. Jujur itu memang perlu, tapi terlalu jujur juga bukan sesuatu yang bijak.

Pelajaran itu kamu ambil, kamu pegang erat-erat sampai kapanpun. Hubungan sahabatmu dengan kamu sudah rusak. Malam ini, kamu tumpahkan kesedihan di dada ke dalam sebuah tulisan, supaya terasa sedikit lebih ringan. Supaya gak ada lagi yang melakukan kesalahan yang sama.

Selasa, 12 Maret 2019

Tentang Aku yang Gak Bisa Maju

So last year, I promised myself to enter 2019 with a new start. New job, new me, new heart. Stand with broad smile, keep the head high, moving on. Left the last job, left my education stage, left my thoughts about you.

I thought I've been stupid and crazy, all of my doing lately was unnecessary. And I need a clean slate. It was coming, and I thought I was ready. New challenge, new people, new environment, new attitude. Let's do this, I said to myself.

I fail. Hard.

Look, acting strong is hard. But crying all over again and beating myself up to it is also hard. I'm tired. So why not be oblivious, right? I could be okay. You were a big part of my life, sure, but I can move on. I can. I screamed in my head. I can move forward!

But today I realize I cannot. Just one glimpse of you, and the damage is done. Just like that, in that split second. What is wrong with me, maybe you ask to yourself. To be honest, I don't know. I know this is not healthy. I know I have to let go. I know time will heal. I know we are not destined to be together. Shit, you, or anyone else, do not have to tell me that over and over. I am not a moron.

It's just, I don't know how.

So today I will drown in my sorrow. I don't know till when. I don't know if I will come back to the surface again. Screw un-hurt heart and sincere smile. It's just a bunch of lies.

I will be happy that you are happy, someday. But not today.