Senin, 07 November 2016

Tahun yang Buruk

Bulan Januari sampe Februari penuh dengan tekanan yang membuat derajat otak mencapai titik didih, mengetahui bahwa orang-orang yang dulu kita percaya mulai jadi bajingan, tamparan sana-sini, dibenci atasan.

Maret sampai dengan Mei penuh dengan tipu daya, muslihat, gosip, isu, kata-kata kotor, strategi, kebohongan, yang membuat diri rasanya gak mampu lagi menaruh pikiran baik kepada orang lain.

Juni hingga Juli ditampar dengan kenyataan, keadaan rumah yang tidak sama, kehilangan tempat yang bisa dirasakan sebagai tempat pulang, jatuh kepercayaan diri, tak bisa berpikir jernih.

Agustus dihina, diinjak orang, diperlakukan seperti orang bodoh, dimaki seakan telinga tak mampu dengar, dipandang bagai manusia paling buruk rupa abad ini.

September ditempa dengan pertemuan dengan orang baru yang melelahkan, kepura-puraan untuk menutupi isi hati, kegigihan yang ternyata malah dianggap palsu, kerja keras yang tidak membuahkan hasil.

Oktober berisi air mata, hati dipatahkan tanpa sengaja, kehilangan seorang sahabat karena alasan yang tidak jelas, kehilangan seorang lagi karena kesibukan, kehilangan lagi karena absennya pemahaman antar diri masing-masing. Isinya hanya banjir tangisan di tempat tidur setiap mengingat betapa jauh aku melangkah sejak hari kemarin, yang kuhabiskan sendiri, 1 Januari.

November mulai capek berdiri tegak.
Aku capek menahan tangis, aku capek menahan amarah, kepala terhantam godam tak terlihat. Hancur.

Anak rantau yang rumah tak lagi sama, tapi tempat tinggal sekarang bukan tempat pulang. Seorang yang berusaha kuat dan dianggap kuat, namun sebenernya begitu ingin berteriak keras, memukul meja hingga patah, menangis tersedu-sedu sampai lega. Perempuan yang tentu saja punya perasaan, yang seringnya diabaikan.

Aku tak kuat lagi. Butuh kalender baru. Butuh kertas putih bersih, lembaran halus tanpa jejak tinta dan lecak.

Aku ingin meninggalkan 2016.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar