Senin, 13 Februari 2017

Organisatoris vs Pengorganisir Acara

Seperti yang udah sering gw bilang sebelumnya, sejak SMP (iye, masih bocah) gw udah terjun ke dunia 'organisasi' yang ada di almamater. Kalo diitung, kasarnya 8 tahun ini gw berkutat dengan manusia, masalah, kegiatan, manusia, masalah, kegiatan. Makin tua, makin kompleks dan menyusahkan, juga menantang sekaligus menyenangkan.

Jadi, tulisan dengan tema "anak sekarang lebih suka jadi event organizer dibanding organisatoris" adalah tulisan yang basi (dan bikin jengkel) menurut gw. Di post dari satu generasi ke generasi lainnya, dari satu organisasi ke organisasi lainnya, berintikan : kita angkatan yang maunya gampang-gampang, sekali kerja kelar, gak mau duduk-duduk melingkar, menyeruput kopi sambil membicarakan perkara almamater, bangsa, dan negara.

Lho, tulisan gw juga basi, dong? Ya iya, emang. Maapin. Gw cuma pengen menyumbang salah satu sudut pandang yang muncul di sela-sela perdebatan tetangga sebelah.

Pertama, pertanyaan dasar : sebenernya organisatoris itu yang kayak gimana si? Sampe detik ini, jujur gw masih belom bisa jawab secara akurat. Yang ikut OSIS kah, di SMA? Yang ikut BEM kah, di kampus? Yang hobi ngerjain program kerja, atau yang suka nongkrong sambil berbincang problem berat (because, people, these two are not always 'meet', trust me.)? Yang demen 'nukang', apa yang forum sampe tengah malem? Yang berprinsip 'let it flow', atau 'fase mengajar-dididik'? Untuk organisasi non-profit, definisinya cukup luas.

Sedangkan, event organizer itu lumayan mudah lah ya diartiin. Itu, lho, yang suka ngerjain acara-acara. Acara yang gimana, sih? Ya, pokoknya acara. Jadi panitia, garap dari konsep di awal sampe teknis di hari akhir. Yang direkrut orang, pokoknya baik klien maupun manusia EO, both dapet profit, secara materiil atau nggak (sertifikat, misalnya).

Opini-opini yang dituangkan di sosial media bergagasan bahwa kita-kita ini gak mau susah, atau kalo gw kutip "jadi event organizer aja, ah!". Maunya yang cepet kelar, dapet untung, seenggaknya sesuatu deh, tipe-tipe pamrih. Gak ikhlas, seperti penghuni sekre-sekre BEM ini atau himpunan itu pada zaman tidak terlalu dahulu kala yang rela berkorban jiwa, raga, dan tenaga untuk kepentingan bersama.

Naini, pertanyaan tidak dasar : salahkah kalo 'anak jaman sekarang' memilih jadi pengorganisir acara dibanding organisatoris?

Perspektif itu tiga dimensi, lu gak bisa liat dari satu sisi untuk menjelaskan kebenarannya. Gimana bisa tau kalo gajah itu endut kalo liat dari depan doang? Oke, contoh yang lebih akurat : di mata kuliah Menggambar Teknik, gimana lo bisa tau itu mesin apaan kalo liat dari samping tok, atau atas aja? Gabisa, ges.

Untuk menjawab pertanyaan tidak dasar itu, gw berusaha diplomatis. Gw 'bermain' di organisasi dan cukup mengenal baik polanya  (meski gw gak lulus pelatihan manajemennya, but yeah I know it a bit), juga sudah nyemplung jadi event organizer berbarengan dengan gw cicip OSIS SMP.

Dibilang proses menyelenggarakan acara lebih mudah, ah, nggak juga. Pressure jelas lebih berat, target disusun dari awal (meski kadang meleset), miskomunikasi jelas diharamkan (walau sering terjadi), melihat hal detail, sepele, remeh, supaya semua lancar, mencapai satu tujuan. Kalo dikata 'mau untung doang'... iya dan nggak. Usaha jelas banyak, tapi benefit juga gak kalah membanjir : cara komunikasi, koordinasi, mengelola, dkk dll dst.

Diujar berorganisasi cuma untuk orang-orang yang mau mikir... bener sih, tapi  apa sebenernya coba, mau mikir itu? Hanya bermodal rasa ingin tahu dan pengen mendengarkan, gak susah timbul kalo udah niat dari jiwa. Ya, berorganisasi berat, gak gampang, tapi manfaat yang didapet lebih besar : membuka wawasan, pikiran, yang terutama adalah mengenali karakter manusia yang sebenar-benarnya, sesuatu yang gak gampang lu dapet kalo cuma jadi 'panitia'. Memahami kenapa dia berbuat begitu, kenapa dia berbuat begini, dan apa reaksi yang paling tepat yang harus lu keluarin. Membuat lu menghargai proses. Sehingga makna-makna kecil yang gak dipahami orang lain bisa lo artikan, "Oalah, ini maksudnya." Berguna untuk kehidupan betulan nantinya.

Kalo lo bilang "Ah, semua punya kurang dan lebih, pilih salah satu aja!" gw gak setuju. Baik berorganisasi maupun jadi EO, lo harus coba dua-duanya, karena, face it, nilai-nilai yang didapet dari kegiatan-kegiatan itu berbeda jauh - sama-sama softskill, tetapi lain ranah. Lagian, apa guna lo mahir melahirkan acara paling keren sejagad bumi tapi gak bisa handle manusia? Dan, apa guna lo mampu memanajemen sumber daya orang hingga tingkat produktivitasnya maksimal (azek) tapi teknisnya kacau balau babak belur? Kombinasi dari keduanya menciptakan keindahan yang hakiki (azek dua), greater good for everyone.

Yang paling penting : lah emang kenapa kalo lo mau dapet sesuatu yang menguntungkan diri lo? Bahkan Joey Tribbiani bilang, kan, there is no selfless good deeds. Hal baik yang kita lakukan itu sebenernya untuk ego kita sendiri. Jadi kalo lo para event organizer merasa derajat lebih rendah dari kakak-kakak yang suka berorganisasi, atau organisator yang suka memandang sebelah mata para pengorganisir acara, apaan dah, sadar kan kalo 'gelar' yang kalian sandang itu sama-sama mengandung kata-kata organize?

Sekian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar