Minggu, 14 Mei 2017

Dulu Kita Berteman

"Lu tau gak sih, kalo orang udah sahabatan lebih dari 6 tahun, persahabatannya bakal survive sepanjang masa?" kata lo sore itu.

Gue ketawa dalam hati.

Sore itu lo ngontak. Bilang rindu. Sengaja, gue gak bales saat itu juga. Karena, apa yang harus gue ketik? Bilang rindu juga, bohong. Bales basa-basi, kesannya buka percakapan. Padahal gak mau buka percakapan sama lo. Tapi, kalo gak bales, kok kesannya bajingan amat.

Jadi, gue tulis pertanyaan yang netral. "Lo dimana?"

Lo bilang rindu. Lo nanya, apa gue juga? Lo menyatakan kok kayaknya gue nggak. Kalo gak kangen juga gapapa. Lo minta maaf karena lo berubah jadi cewek lembek.

"Gw rasa terakhir kali ketemu lo, kayaknya percakapan kita gak bagus."

Kepala gue berputar. Kita pernah berteman baik. Baik banget, malah. Ya, lo gak selalu ada buat gue. Waktu gue dibully sama anak-anak populer bajingan, lo pergi. Tapi, pikir otak polos ini, itu kan saat remaja.

Beberapa tahun kemudian, ketika lo yang kena gencet orang, gue berusaha terus ada di samping lo. Entah kenapa, gue rasa itu yang bikin persahabatan kita jadi kuat. Gue orang bajingan, blak-blakan yang gak gampang membuka diri pada orang lain. Lo orang yang lebih brengsek, lebih nyablak, namun lebih tertutup lagi pada sekitar. Rasanya kita seperti dua orang cewek anti mainstream yang gak cocok dengan dunia, yang suka hal berbeda, yang pikirannya lebih maju dari mereka si cewek-cewek cantik berbulu mata lentik yang suka memandang kita sebelah mata.

Haha. Kalo diinget lagi, kita sama naifnya dengan mereka. Tapi, betapa kita sombongnya, merasa kita lebih baik.

Bahkan ketika pisah sekolah, setiap bulan kita masih main. Masih catch up. Lo tau tentang hidup gue. Gue tau tentang hidup lo. Siapa temen baru masing-masing, apa yang disuka, apa yang gak disuka. Mengenal lo kayak mengenal telapak tangan sendiri. Lo berubah barang sedikit pun gue paham.

Gue rasa, penyebab kita dekat karena kita begitu similar. Selera musik, cara pikir, kosa kata, kesukaan buku, kesukaan belajar (yes, we both ARE nerd).

Entah kenapa, sejak masuk dunia perkuliahan, hubungan itu putus gitu aja. Padahal, jarak kita gak jauh-jauh amat. Kalo mau effort, ketemu sebulan sekali tetep bisa dilaksanakan. Tapi, kita mulai menjauh.

Hari terakhir gue ketemu sama lo, gue inget banget percakapan antara kita. Lo ngambek karena gue gak bisa dateng tepat waktu ketemuan sama lo, padahal lo tau betul gue abis pulang kerja, cari uang buat bayar kuliah. Gue pikir, baiklah, gak apa-apa, emang salah gue.

Namun, setelah itu, pembicaraan mengarah ke lo yang memojokkan. Karena pilihan gue untuk sibuk berorganisasi. Karena pilihan gue untuk kerja saat liburan. Karena pilihan baju gue. Karena gue masih aja jomblo, padahal umur udah 20. Karena ini, karena itu. Kritik, kritik, kritik.

Lo tau gak? Gue bukan orang yang pintar menyembunyikan emosi. Saat itu gue protes. Emang kenapa kalo gue berambisi buat jadi kepala divisi himpunan? Emang kenapa kalo pakaian gue sangat biasa? Emang kenapa kalo gue gak pake make up? Emang kenapa kalo gue jomblo?

Lo ketawa. Lo bilang, "Kita udah gede, Ting. Sampe kapan lo mau kayak gini terus?"

Itu menusuk sampai ke dalam sanubari.

Apa lo gak sadar, bahwa gue pun udah berubah? Gue bukan seorang Firliani Sarah yang lo kenal dulu. Gue punya prioritas di depan mata : anak sulung, kuliah negeri, harapan orang tua tinggi. Gue udah bukan cewek yang bisa digencet orang lagi. I can stand up for myself, gue bukan lagi cewek yang terpesona dengan cowok sebegitu gampangnya, definisi diri dari orang lain. Gue pun udah gede. Terus lo bilang sampe kapan gue mau bocah terus?

Detik itu, gue juga sadar bahwa lo pun udah berubah. Terlalu banyak. Saat gue mengaduk-ngaduk pisang bakar di depan muka, pikiran melanglang buana. Siapa sosok di hadapan gue ini?

Kalo lo gak bisa ngerti prioritas gue, kalo lo gak bisa ngerti pilihan gue, bahkan setelah gue jelasin, terus untuk kita tetep temenan? Kalo lo bahkan gak bisa dukung keputusan gue, kalo lo maunya marahin dan membuat gue hidup satu standar dengan lo, what's the point? Bukannya sahabat harusnya saling percaya, saling ingetin kalo salah, saling dukung, bukannya kejar-mengejar memenuhi standar yang lainnya?

Malam itu, gue naik angkot, pulang. Otak dengan cepat memutuskan. Kita sudah bukan sahabat. Kenalan, mungkin. Temen TK. Temen SD. Temen SMP. Sobat SMA. Sekarang? Jelas nggak.

Tapi, gak apa-apa. Gue berubah. Lo berubah. Didikan orang tua, temen-temen sekitar, membentuk kita.

Gue kira, meski kita berbeda, kita tetap bisa bersahabat. Tapi, ternyata nggak. Menurut gue, sahabat itu saling mengingatkan, saling menasihati, tapi bukan saling memojokkan, lalu melempar komentar passive-aggressive. Karena, kalo itu yang lo lakuin, berarti ada jarak di antara kita. Dan, kalo iya, berarti apa definisi hubungan kita?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar