Kamis, 30 November 2017

Badainya di Dalam, Bukan di Luar

Setelah mengalami episode depresi yang entah disebabkan oleh apa (atau gue mengelak untuk mencari tau alasannya, either way), gue memutuskan untuk sering keluar dari kamar kosan dan berinteraksi lebih sering bersama orang-orang yang bisa dibilang hampir selalu hadir dalam kehidupan perkuliahan selama dua tahun belakangan ini : akademik lyf, perkawanan, politik.

Gue mencoba buat ngedatengin satu per satu, tapi ada satu hal yang bikin agak terkejut.

Suatu ketika, setelah sekian lama, akhirnya gue cabut bareng Indi dan Rafi ke tempat makan favorit : Mie Kober. Ngobrol. Ketawa. Gimana skripsi? Siapa dosbing? And those opening talks.

Gak tau jelas juga kapan kita berbelok jadi real o'clock. Tiba-tiba semuanya ngasih tau apa sih yang sebenernya ada di dalam hati : rasa gak berguna; menyadari bahwa hidup ini sebenernya lu arungi sendiri, cuma orang tua yang truly support; yang terjadi ketika sandungan  kecil yang diremehkan di awal membuat kehancuran bertubi-tubi di akhir cerita.

Ada satu ketika, momen di malam itu, sepulang dari obrolan yang membuat gue berpikir. I'm not who I really am with my now friends. Dan kenapa? Bukankah selalu berusaha menjadi yang benar untuk diri sendiri adalah yang gue usahakan, for, like, what, 20 years? Tapi kejadian juga. Ada sebagian diri yang gue sembunyikan. Temen-temen yang bener-bener mengerti apa adanya malah gue buang karena hal sepele.

Saat itu gue berpikir. Mungkin depresi gue juga sebagian disebabkan karena gak bisa nunjukkin asli diri ini ke luar, karena harus ke siapa? Ketika gue ceritain masalah gue, gak ditanggepin juga dengan baik. Dismissed as if it was nothing. Dan mungkin emang bukan sesuatu, but still. Dua orang yang biasanya menyokong gue di awal kehidupan perkuliahan malah gue bakar jembatannya karena hal yang sebenernya gak penting. Gak berani lagi bangun hubungan ke mereka, karena what's the point? It's already in the past, what's done is done, I thought, but is it really?

Gue udah tau gue bukan orang baik. Gue bukan orang yang peduli penampilan luar (kecuali lu bau badan dan obesitas. Bau badan berarti lu jorok dan bisa mengarah ke masalah kesehatan, begitu pula obesitas, karena pengalaman buruk gue sendiri). Pikiran gue bisa dikata komentar-komentar sinis nan brengsek yang bisa membuat pendengar sakit jantung. Gue pembohong handal, gampang tersulut amarah, kasar, dan nyablak. Gue gak bisa tunjukkin semua itu.

Tau betul hidup dalam kepalsuan, tapi diem aja. Tiba-tiba takut, jangan-jangan gue akan selalu berdiri dalam topeng, gak berani buka siapa gue sebenarnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar