Rabu, 27 Juni 2018

11 Agustus 2014

Empat tahun yang lalu, gue lagi menatap langit lewat balkon belakang asrama. Kata Bokap, Nyokap lagi nangis di kereta. Sedih ninggalin anak sulungnya di kota rantau. "Jangan ikut nangis, inget kamu disana buat sekolah," nasihat Bokap.

Warna langitnya ungu, awannya abu-abu. 2014. Pikiran saat itu, gue gak akan ninggalin kota ini untuk waktu yang lama hingga 2018. Rasanya jauh banget, gak terjangkau. Empat tahun, lebih lama dari SMA. Sendirian, gak ada saudara, kawan lengket juga gak punya.

Ngeliat ke belakang... empat tahun emang lama. Lama banget. Bukan berarti gue gak enjoy jadi warga sementara Surabaya. Ya... cuma pengen bilang, perubahan yang terjadi begitu banyak: keluarga, rumah, sahabat, prinsip hidup, isi pikiran. Menjadikan tiap momen kerasa, bukan kelewat gitu aja tanpa makna.

Gue kira kala itu, Firliani Sarah versi 2014 adalah versi terbaik yang bisa ada di dunia. Setelah ngaca, Sarah 2018 kaget karena gak nyangka ada versi yang lebih baik, yang masih bisa diperbaiki lagi, malah.

Sarah versi 2014 mengira hidupnya bakalan hampa, gak bakal nemuin temen, cuma jadi individual sengsara di kamar asrama. Ternyata, Sarah versi 2018 punya jauh lebih banyak sahabat, kenalan, orang-orang yang bersentuhan sekilas dengan hidupnya dengan arti masing-masing.

Sarah versi 2014 mengira dia udah cukup pinter. Sarah versi 2018 mikir dirinya cuma remahan nutrisari di bawah kitchen set. Sarah versi 2014 gak mau mikirin kata orang. Sarah versi 2018 sadar yang dia lakuin bisa nyakitin hati manusia. Sarah 2014 gengsi. Sarah versi 2018 buang gengsi.

Gue yang sekarang masih punya ratusan kelemahan. Tapi, tetap aja lirikan ke kaca bikin tercengang. Anjir, gue ini siapa? Kenal tapi gak kenal.

Saatnya pulang ke rumah, ketemu emak bapak. Kata emak di telpon, cepetan balik, ngapain di tanah orang. Subteks: beliau rindu. Gue jawab, iya nunggu wisuda kelar. Subteks: gue juga rindu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar